Friday, March 16, 2018

sistem moneter konvensional dan Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan (Inflation) sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkata jumlah uang beredar sangat rendah, maka kelesuan ekonomi akan terjadi (deflation). Apabila hal ini berlangsung sangat rendah, kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan pada gilirannya akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara lain melatar belakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini otoritas moneter (central banking) suatu Negara dalam mengendalikan jumlah uang beredar dalam perekonomian. Kegiatan pengendalian jumlah uang beredar tersebut lazimnya disebut dengan kebijakan moneter, yang pada dasarnya merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro yang ditempuh oleh otoritas moneter.
Kebijakan moneter bertujuan mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang lebih baik atau bisa dikatakan untuk mencapai stabilisasi ekonomi. Kondisi tersebut dapat diukur dengan menggunakan indicator-indikator makro utama seperti terpeliharanya pertumbuhan ekonomi yang baik, stabilitas harga umum yang terkendali, dan menurunnya tingkat pengangguran.
Berhasil tidaknya tujuan dari kebijakan moneter tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, pertama: kuat tidaknya hubungan kebijakan moneter dengan kegiatan ekonomi tersebut, kedua:jangka waktu perubahan kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, makapenulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai “Sistem Moneter Konvesional dan Syariah”.
B.     RumusanMasalah
         Berdasarkan latar belakang masalah, yang menjadi rumusan masalahdalam makalah ini adalah:
1.Bagaiman sejarah sistem moneter?
2.Apa pengertian sistem moneter?
3.Apa yang menjadi perbedaan antara permintaan uang konvensional dan permintaan uang Islam?
4.Apa yang menjaadi perbedaan antara manajemen moneter konvensional dengan manajemen moneter Islam?
5.Sebutkan apa-apa saja yang menjadi instrumen moneter konvension dan islam?
6.Apa saja yang termasuk kedalam mekanisme kebijakan moneter Islam?
7.Bagaiman perubahan fundamental dalam sistem moneter Islam jika dibandingkan dengan sistem moneter konvensional?
C.    TujuanPenulisan
1.Untuk mengetahui sejarah sistem moneter dan apa itu sistem moneter.
2.Untuk mengetahui perbedaan permintaan uang konvensional dengan permintaan uang Islam.
3.Untuk mengetahui perbedaan antara manajemen moneter konvensional dengan manajemen moneter Islam..
4.Untuk mengetahui instrumen-instrumen moneter konvensinal dan Islam.
5.Untuk bisa mengetahui mekanisme kebijakan moneter Islam.
6.Untuk dapat mengetahui perubahan fundamental dalam sistem moneter Islam dibandingkan dengan sistem moneter konvensional.
D.    ManfaatPenulisan
1.Membantu mahasiswa untuk menambah pengetahuan tentang Sistem Moneter Konvesional dan Syariah.
2.Membantu mahasiswa dan pembaca lainnya untuk sadar pentingnyamempelajari Sistem Moneter Konvesional dan Moneter.
3.Menyelesaikan tugas mata Kuliah Makro Ekonomi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah sistem moneter
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak dilakukan studi empiris maupun historis bila dibandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi yang lain. Sistem keuangan pada zaman Rasulullah digunakan bimetalic standardyaitu emas dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. nilai tukar emas dan perak pada masa Rasulullah ini relatif stabil dengan nilai kurs dinar dirham 1:10. Namun demikian, stabilitas nilai kurs pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara suply dan demand. Misalkan, pada masa pemerintahan Umayyah (41-662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa Abbasiyah (132/750/656/1258) berada pada kisaran 1:15.
Di samping nilai tukar pada dua pemerintahan ini, pada masa yang lain nilai tukar dirham dan dinar mengalami berbagai fluktuasi dengan nilai nilai paling rendah pada level 1:35 sampai dengan 1:50. Instabilitas dalam nilai tukar uang ini akan mengakibatkan terjadinya bad coins good out of circulations atau uang kualitas buruk akan menggatinkan uang kualitas baik, dalam literatur konvesional peristiwa ini disebut sebagai hukum Gresham. Seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintah Banyak Mamluk ( 1263-1328 M ), dimana mata uang logam yang beredar terbuat dari fulus ( tembaga ) mendesak keberadaan uang logam emas dan perak. Peristiwa ini terjadi bila uang dari jenis dinar ( emas ) dan dirham ( perak ) menghilang dari peredaran karna adanya perbedaan nilai kurs dengan daerah lain. Sebagai contoh bila kurs diwilayah pemerintahan Mamluk adalah 1 : 20 (satu emas sebanding dengan 20 fulus ) sedangkan daerah lain adalah 1:25 maka emas yang berada di Mamluk akan dibawa kedaerah lain yang akan dapat ditukar dengan 25 fulus, tentu saja perbedaan nilai ini akan mengakibatkan emas diperedaran akan menghilang. Oleh Ibnu Taimiyah bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang uang kualitas baik.
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami revolusi yaitu :
a.    The gold  coin standard : dimana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran.
b.    The gold bullion standard : dimana logam emas bukanlah alat tukar yang beredar namun otoritas moneter menjadikan logam emas sebagai parameter dalam menetukan nilai tukar uang yang beredar.
c.    The gold exchange standard ( bretton currency words system ) : dimana otoritas moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan foreign currency yang mampu diback-up secara penuh oleh cadangan emas yang dimiliki. Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian besar telah memunculkan uang fiducier ( kredit money ) yaitu uang yang keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak.[1]

B.     Pengertian Sistem Moneter
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Sedangkan sistem moneter menurut Abdul Qodim Zallum  adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang paling penting dalam setiap sistem keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan (al-wahdatu al-naqdiyatu alasasiyah) dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu adalah emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem uang emas. Apabila satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam. Dan bila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas), sistem keuangannya disebut sistem fiat money. Dalam sistem dua logam, harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam berat maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak.

C.    Permintaan Uang
1.      Permintaan Uang Konvesional
a.      Teori permintaan uang klasik
Teori permintaan uang klasik, tercemin dalam teori kuantitas uang. Pada awalanya, teori ini diperentukkan untuk menerangkan peranan uang dalam perekonomian. Dengan sederhana, Irving Fisher merumuskan teori kuantitas uang sebagai berikut:
Kemudian dalam versi lain volume barang yang diperdagangkan (T) diganti dengan output riul (O), sehingga persamaan tersebut menjadi:
Dalam teori kuantitas uang ini, Irving Fisher mengasumsikan bahwa keberadaan uang pada hakikatnya adalah Flow Concept. Keberadaan uang ataupun permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga, akan tetapi besar kecilnya uang akan ditentukan oleh kecepatan perputaran uang (velocity of money).
Pada saat yang hampir bersamaan, Marshal dan Pigou dari Universitas Cambridge juga mengembangkan formulasi yang hampir sama, namun pada hakikatnya berbeda. Formulasi teori kuantitas versi Cambridge seperti tersebut di bawah ini:
di mana k = 1 / v
Secara sistematik, formula Marshal ini sama dengan formula Irving Fisher, namun mempunyai filosofi yang berbeda. Marshall-Pigou menyatakan bahwa keberadaan k sebagai turunan dari 1/v merupakan tingkat keinginan seseorang untuk menyimpan sebagian kekayaannya, dan penyimpanan uang adalah satu kekayaan yang dimiliki oleh seorang individu. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa uang adalah salah satu cara untuk melakukan penyimpanan kekayaan, sehingga keberadaan uang dalam teori Cambridge adalah stock concept.
Karena uang juga difungsikan sebagai alat untuk menyimpan kekayaan (store of wealth),  maka seorang individu akan menentukan individual choice-nya di dalam memelihara komposisi kekayaan yang dimilikinya, apakah akan disimpan dalam wujud bonds, di stock, atau di money, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, teori Cambridge kemudian dijabarkan oleh Keynes. Penjabaran Keynes yang kemudian melahirkan mazhab Keynesian ini pada dasarnya adalah penjabaran dari individual choice versi Marshal Pigou.
b.      Teori permintaan uang Keynes
Penjabaran Keynes tentang individual choise Marshall Pigou adalah keinginan seseorang untuk mengatur uang atau asetnya yang dipengaruhi oleh tiga hal:
a)      Money demand for transactions
b)      Money demand for precautionary
c)      Money demand for spekulasi
Bagi Keynes, money demands for transaction ditentukan oleh tingkat pendapatan, money demand for speculation ditentukan oleh tingkat suku bunga. Menurut Keynes besarnya permintaan uang dapat dikelompokan dalam tiga motif, yaitu :
a)      Motif transaksi (trensactionary motive), yang merupakan permintaan uang yang timbul karena adanya kebutuhan untuk membayar transaksi biasa. Fungsi uang dalam motif pertama ini lebih berfungsi sebagai medium of exchage dari transaksi keuangan rumah tangga, industri ataupun pemerintah untuk semua barang dan jasa dalam jangka pendek. Secara agregat kebutuhan untuk transaksi dapat dikelompokkan untuk memenuhi dari transaksi di konsumsi, investasi, ekspor-impor dan pengeluaran pemerintah. Kapasitas untuk memenuhi kebutuhan transaksi dalam jangka pendek relatif sedikit dibandingkan dengan motif yang lain.
b)      Motif berjaga-jaga (precautionary motive), permintaan akan uang untuk tujuan memenuhi kemungkinan-kemungkinan yang tidaak terduga
c)      Motif spekulasit (speculative motive), atau kebutuhan untuk memenuhi kemungkinan yang tak terduga, motif ini lebih bersifat untuk mendapatkan keuntungan dari adanya peluang dalam pasar komoditi, stock market, financial market, dan foreign exchange. Namun tidak semua pelaku ekonomi akan menciptakan kebutuhan ketiga ini.
Dari motif ketiga inilah suku bunga sebagai biaya opportunity uncul, di mana semakin tinggi suku bunga maka semakin rendah permintaan uang untuk spekulatif begitu juga sebaliknya. Alasannya adalah: pertama, apabila tingkat suku bunga tinggi, berarti biaya alternatif untuk memegang uang adalah tinggi. Biaya alternatif yang tinggi akan menyebabkan kebutuhan akan saldo spekulatif berkurang. Sebaliknya semakin kecil tingkat suku bunga maka, semakin besar keinginan masyarakat untuk menambahkan saldo spekulasi, karena pada suku bunga yang rendah biaya keuntungan dari peluang pasar komoditi, stock market, financial market, dan lain-lain akan menjadi murah. Dengan demikian, masyarakat akan cenderung lebih berani untuk menambah saldo spekulasi.Kedua, hipotesis Keynes bahwa masyarakat mengaggap adanya tingkat suku bunga normal. Tingkat bunga normal artinya suatu tingkat di mana suku bunga tidak akan beradaa pada level yang irasional, sehingga setiap kali ada perubahan bunga maka diharapkan akan kembali pada level yang dianggap wajar. Tingkat bunga normal pada level yang rendah mengakibatkan permintaan uang akan menjadi elastis sempurna atau terjadinya fenomena liquidity trap. Pada kondisiliquidity trap masyarakat tidak akan memegang kekeyaannya dalam surat berharga sehingga semuanya akan diwujudkan dalam bentuk uang kas.[2]
2.      Teori Permintaan Uang Dalam Islam
a.      permintaan uang mazhab iqtishaduna
Permintaan uang hanya ditunjukan untuk dua tujuan pokok, yaitu transaksi dan berjaga-jaga atau untuk investasi. Secara matematik formula permintaan uang dapat dituliskan sebagai berikut:
Permintaan uang untuk transaksi merupakan fungsi dari tingkat pendapatan yang dimiliki oleh seseorang. Dimana semakin tinggi tingkat pendapatan seseoraang maka permintaan uang untuk memfasilitasi transaksi barang dan jasa juga akan meningkat.
Fungsi permintaan uang untuk motif berjaga-jaga (meliputi juga permintaan uang untuk investasi dan tabungan) ditentukan oleh besar kecilnya harga barang tangguh untuk pembelian barang tidak tunai.
b.      Mazhab mainstream
Seperti hanya pada mazhab pertama di mana permintaan uang dalam Islam hanya dikategorikan dalam dua hal yaitu permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga. Perbedaan baru terlihat di antara mazhab ini setelah kita membicarakan bagaimana perilaku permintaan uang untuk motif berjaga-jaga dalam Islam dan variabel apa yang memengaruhi motif berjaga-jaga ini.
Landasan filosofis dari teori dasar permintaan uang ini adalah Islam mengarahkan sumber-sumber daya yang ada untuk dialokasikan secara maksimum dan efisien. Pelarangan hoarding money atau penimbunan kekayaan merupakan “kejahatan” penggunaan uang yang harus diperangi. Pengenaan pajak terhadap aset produktif yang menganggur merupakan strategi utama yang digunakan oleh mazhab ini. Dues of idle cash atau pajak atas aset  produktif yang menganggur bertujuan untuk mengalokasikan setiap sumber dana yang ada pada kegiatan usaha produktif.
Pengenaan kebijakan ini akan berdampak pada pola permintaan uang untuk motif berjaga-jaga. Semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap aset produktif yang dianggurkan maka permintaan terhadap aset ini akan berkurang. Secara sederhana dapat dianalogikan sebagai berikut, Ahmad yang memiliki kekayaan berupa tanah dan kemudian tanah tersebut hanya dianggurkan saja sehingga tidak ada nilai tambah dari kekayaannya, maka kebijakan yang dikenanakan terhadap Ahmad agar tanah tersebut memiliki nilai tambah adalah mendorong Ahmad untuk bersedia mengelola kekayaannya pada kegiatan yang produktif. Instrument yang digunakan adalah pajak terhadap pengangguran tanah tersebut. Sehingga Ahmad akan terkena risiko pembayaran pajak apabila tanah miliknya tetap dianggurkan.
c.       Mazhab Alternative
Permintaan uang dalam mazhab ketiga ini, sangat erat kaitannya dengan konsep endogenous uang dalam Islam. Teori endogenous dalam Islam secara sederhana dapat kita artikan bahwa keberadaan uang pada hakikatnya adalah representasi dari volume transaksi yang ada dalam sektor riil. Teori inilah yang kemudian menjembatani dan tidak mendikotomikan antara pertumbuhan uang di sektor moneter dan pertumbuhan nilai tambah uang di sektor riil.
Islam menganggap bahwa perubahan nilai tambah ekonomi tidak dapat didasarkan semata-mata pada perubahan waktu. Nilai tambah uang terjadi hanya jika ada pemanfaatan secara ekonomis selama uang tersebut dipergunakan. Sehingga tidak selalu nilai uang harus bertambah walau waktu terus bertambah, akan  tetapi nilai tambahnya akan tergantung dari hasil yang diusahakan dengan uang itu. Secara makro ekonomi, nilai tambah uang dan jumlahnya hanyalah representasi dari perubahan dan pertambahan di sektor riil. Konsep inilah yang kemudian menjadikan landasan sistem moneter Islam selalu berpijak pada sektor mikro ekonomi.
Permintaan uang menurut M.A Choudhury adalah representasi dari keseluruhan kebutuhan transaksi dalam sektor riil. Semakin tinggi kapasitas dan volume sektor riil meningkat, maka permintaan uang pun akan meningkat. variabel-variabel yang memengaruhi permintaan uang meliputi variabel-variabel sosio ekonomi (X), kebijakan pemerintah dalam regulasi ekonomi (Y), dan informasi objektif masyarakat akan kondisi riil perekonomian. Tidak seperti halnya teori exogenous, uang dalam literature konvesional dianggap bahwa permintaan uang dan penawaran uang dipengaruhi oleh suku bunga. Permintaan uang dan penawaran uang dalam mazhab ini dipengaruhi oleh besarnya profit sharing atau extected rate of profit. Tinggi rendahnya expected rate of profit ini merupakan represeentasi dari prospek pertumbuhan actual ekonomi.
Expected rate of profit merupakan harapan keuntungan yang bisa didapatkan dari menginvestasikan uang sektor riil. Peningkatan investasi berarti penurunan permintaan uang kas yang disimpan. Apabila expected rate of profityang akan didapatkan dari kegiatan investasi di sektor riil meningkat, maka penawaran investasi juga akan meningkat. Tingginya penawaran investasi akan menyebabkan penurunan jumlah uang kas riil yang dipegang masyarakat. Artinya peningkatan expected rate of profit menjadikan orang berkeyakinan bahwa pemegangan uang kas yang berlebih mengandung kerugian akan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan bisnis. Akibatnya, seseorang akan menyesuaikan berapan besar permintaan uang kas riil yang dipegang terhadap besarnya expected rate of profit.[3]

D.    Manajemen Moneter Konvensional dan Islam
1.Manajemen Moneter Konvensional
Adanya ketidakteraturan dan hubungan antar variabel dalam perekonomian seing kali menjadikan kita sulit untuk mengidentifikasi alur suatu kebijakan moneter mencapai tujuannya. Sehingga banyak pihak yang masih melihat bahwa mekanisme moneter seperti halnya Black-box. Dengan demikian, perlu kiranya kita sedikit mengurai dan memahami proses yang terjadi di dalamnya. Pada dasarnya, ada dua paradigma dalam memahami mekanisme transmisi moneter, yakni apa yang disebut dengan paradigma uang pasif dan paradigma uang aktif. Perbedaan antara dua paradigma ini terletak dari penggunaan sasaran operasional yang digunakan dalam mekanisme moneternya.
a. Uang Pasif
Paradigma uang pasif percaya bahwa kesenjangan output merupakan kausal utama dalam mekanisme transmisi. Dalam paradigma ini suku bunga jangka pendek dan nilai tukar dijadikan  sebagai sasaran antara (interdemediate objective) yang pada gilirannya akan memengaruhi perkembangan besarnya permintaan, kesenjangan output dan ekspektasi inflasi. Dalam paradigma uang pasif ini uang dinyatakan sebagai variabel endogen yang mana otoritas moneter tidak mempunyai kemampuan secara penuh untuk mengatur jumlah uang beredar.
b. Uang Aktif
Paradigma uang aktif percaya bahwa likuiditas merupakan kausal utama dalam mekanisme transmisi moneter. Dalam paradigma ini suku bunga dianggap sebagai resultante biasa yang terjadi dalam mekanisme transmisi moneter. Penganut dari paradigme ini adalah Milton Friedman. Paradigma uang aktif secara sederhana dapat dijelaskan dengan teori kuantitas (quantity theory of money) MV=PT merupakan dasar pijakan utama dalam paradigma uang aktif ini. Bahwa perubahan % M + dengan % V sebanding dengan perubahan % P + % T. Dalam paradigma ini diasumsikan bahwa M secara penuh mampu dikendalikan oleh otoritas moneter sedangkan nilai V adalah konstan. Sehingga, jumlah uang beredar merupakan sarana yang aktif dijadikan pemerintah sebagai instrumen moneter dalam mengendalikan tingkat inflasi.
Paradigma uang aktif dalam teori konvesional menganggap bahwa uang sebagai variabel exogen yang bentuk kurva penawarannya bersifat inelastic sempurna. Sasaran pokok yang ingin dicapai dari kebijakan dengan paradigma ini adalah terkendalinya tingkat inflasi dengan menggunakan besaran moneter (jumlah uang beredar) sebagai sasaran operasional.[4]
2. Manajemen Moneter Islam.
Dasar pemikiran dari manajemen moneter dalam konsep Islam adalah terciptanya stabilitas permintaan uang dan mengarahkan permintaan uang tersebut kepada tujuan yang penting dan produktif. Sehingga, setiap instrumen yang akan mengarahkan kepada instabilitas dan pengalokasian sumber dana yang tidak produktif akan ditinggalkan.
Dalam teori keynes telah dikenal bahwa adanya permintaan spekulasi akan uang pada dasarnya dipengaruhi oleh keberadaan suku bunga (the theory of liquidity preference). Pergerakan suku bunga merupakan refleksi pergerakan permintaan uang untuk spekulatif. Semakin tinggi permintaan uang untuk spekulasi, maka semakin rendah tingkat bunga yang berlaku di pasar. Begitu juga sebaliknya, apabila permintaan uang spekulatif menurun, maka suku bunga akan relatif meningkat.
Penghapusan suku bunga dan adanya kewajiban pembayaran pajak atau biaya produktif yang menganggur, menghilangkan insentif orang untuk memegang uang idle sehingga mendorong orang untuk melakukan:
a)      Qard (meminjamkan harta kepada orang lain)
b)      Penjualan muajjal
c)      Mudarabah
Para pemilik dana akan menginvestasikan dananya pada kegiatan yang memberikan keuntungan terbesar (actual return), jadi semakin tinggi permintaan uang untuk investasi di sektor rill atau kebutuhan akan persediaan dana untuk investasi semakin besar maka, tingkat keuntungan harapan yang akan diberikan akan relatif menurun. Karena besarnya tingkat actual return ini tidak berfluktuatif seperti halnya suku bunga maka akan menjadikan permintaan uang akan lebih stabil.
Dalam strategi manajemen moneter Islam, ketika ada penurunan actual return dari investasi di sektor riil (konsisi ekonomi sedang lesu), maka hal ini akan direspon oleh para pemegang dana untuk mengurangi investasinya dan cenderung lebih senang memegang uang kas riil (permintaan terhadap uang kas riil meningkat).
Strategi dasar dalam manajemen moneter Islam menurut mazhab kedua adalah:
a)   Tidak adanya suku bunga sebagai biaya dari capital (cost of capital) dan dikenakannya pajak bagi aset produktif yang menganggur (dues on idle fund)akan mendorong pemilik modal untuk menginvestasikan sejumlah kekayaannya pada sektor riil yang produktif.
b) Adanya mekanisme sistem bagi hasil dalam transaksi syirkah akan memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk secara bersama-sama ikut serta dalam roda perekonomian, yang pada akhirnya terjadi pemerataan kesempatan kerja dapat tercapai. Pemerataan pendapatan akan terealisasikan ketika kesempatan usaha dapat dimiliki oleh semua orang.
c)   Terciptanya kepastian berusaha yang didukung dengan tidak adanya suku bunga yang ditentukan di muka dalam transaksi pinjam-meminjam. Sedangkan satu-satunya perhitungan biaya dana pinjaman yang ditentukan di muka adalah perhitungan risiko bagi hasil (profit sharing ratio), sedangkan besarnya bagi keuntungan yang harus ditanggung oleh peminjam dana adalah besarnya nisbah bagi hasil dikalikan dengan keuntungan aktual yang didapat. Kondisi ini dapat memungkinkan terciptanya kepastian berusaha bagi peminjam dana karena mereka akan membayar tambahan bagi hasil sesuai dengan keuntungan yang diperoleh dari usahanya. Karena besarnya profit sharing ratio tidak berfluktuatif seperti halnya suku bunga maka dunia usaha akan relatif lebih stabil.[5]
3.Konsep Uang Beredar Dalam Ketiga Mazhab Ekonomi Islam
Mazhab-mazbab yang dikenal dalam ekonomi islam ini dibagi dalam tiga mazhab, yaitu mazhab iqtishaduna, mazhab mainstream economic, dan mazhab alternatif.
a.      Mazhab Iqtishaduna
Pendukung pertama azhab pertama atau yang kita sebut dengan mazhab istihaduna ini antara lain Dr. Kadim Sard, Dr. Baqir Al-Hasani dan Dr. Abbas Mirakhor. Pandangan utama dari mazhab ini adalah jumlah uang beredar merupakan elastis sempurna, di mana pemerintah sebagai pemegang otoritas moneter tidak mampu untuk memengaruhi jumlah uang yang beredar. Pendapat ini didasarkan pada asumsi yang merefleksikan gambaran ekonomi pada masa Rasulullah Saw. Pada masa Nabi Muhammad mata uang yang beredar adalah dinar (terbua dari emas) dan dirham (terbuat dari perak) yang diimpor dari Roma dan Persia. Dinar dari Roma dan Dirham dari Persia, nilai tukar saat itu yang berlaku adalah satu dinar sebanding dengan sepuluh dirham. Banyak rendahnya permintaan akan dinar atau dirham tergantung dari perdagangan barang dengan luar negeri. Jika permintaan akan uang naik, maka dinar akan diimpor dengan cara pasar melakukan ekspor barang ke Roma (untuk mendapatkan dinar) atau ke Persia (untuk mendapatkan dirham). Namun jika permintaan uang turun impor barang dari luar negerilah yang akan dilakukan. Pada masa ini tidak dikenal dan memang dilarang pengenaan bea masuk pada barang impor maupun uang impor, sehingga permintaan uang internal akan selalu dapat tercukupi. Di samping itu, karena nilai emas dan perak pada kepingan dinar dan dirham sama dengan nilai nominal (face value), maka uangnya memungkinkan adanya peleburan kepingan uang menjadi barang-barang hiasan yang secaara otomatis akan menarik uang beredar dari pasar.
Dengan realitas perdagangan yang bebas dari bea cukai, relatif kecilnya luas wilayah dan perdagangan yang relatif baik serta adanya kesamaan antara nilai instrinsik dan nilai nominalnya mengakibatkan pemerintah tidak mampu untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Elastisitas penawaaran ini juga didukung dengan tidak adanya bank sentral yang melakukan pencetakanmata uang sendiri pada masa Rasulullah. Pencetakan uang baru dilakukan pada kekhalifahan Ali, namun karena pemerintahan beliau relatif singkat, yaitu hanya empat tahun dan adanya instabilitas politik pada masa itu menyebabkan peredaran uang yang dicetak belum maksimal beredar secara luas.
b.      Mazhab Mainstream
Dikatakan oleh Metwally, bahwa penawaran uang dalam Islam sepenuhnya dikontrol oleh negara sebagai pemegang monopoli dari penerbitan uang yang sah (legat tender). Keberadaan Baitul mal semasa Rasulullah merupakan prototype dari bank sentral yang ada selama ini. Keberadaan bank sentral adalah untuk menerbitkan mata uang dan menjaga nilai tukarnya agar dapat berada pada tingkat harga yang stabil. Negera melakukan sendiri control terhadap penerbitan uang dan kepemilikan atas semua bentuk uang baik logam, kertas atau kredit.
c.       Mazhab Alternatif
Mazhab ketiga dalam menjelaskan manajemen moneter Islam adalah Mazhab Alternatif, yang menyatakan bahwa keberadaan uang pada dasarnya terintegrasi dalam sistem social ekonomi yang berlaku. Sehingga value dan jumlah uang bukanlah variabel utuh yang berdiri sendiri. Terintegrasinya uang dalam sebuah sistem yang komplek menjadikan uang tidak independen atau bukanlah variabel yang exogenous. Konsep endogenouitas uang dalam Islam ini berbeda dengan cara pandang terhadap uang dalam mazha kedua. Tidaklah seperti halnya mashab kedua yang mengatakan bahwa bank sentral full control terhadap money supply, melainkan  jumlah uang beredar lebih ditentukan olehactual spending deman dalam kebutuhannya untuk transaksi di pasar barang dan jasa. M.A Choudhury dapat digongkan ke dalam mazhab ketiga.
Asumsi yang digunakan dalam konsep ini adalah :
a)      Pertama, telah terjadinya globalisasi perekonomian menyebabkan bank sentral tidak lagi mampu melakukan pengontrolan secara penuh terhadap jumlah uang beredar. Keberadaan fund manager adalah salah satu contoh bahwa pihak di luar bank sentral juga mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam memengaruhi level stock uang yang ada dalam pasar. Fund manegers tidak saja memengaruhi permintaan akan rupiah melalui pembelian/penjualan Rupiah, namun lebih jauh dari itu, mereka juga dapat memengaruhi penawaran Rupiah bila mereka menghilangkan uang Rupiah yang dibelinya.
b)   Kedua, perekonomian mengarah ke tahap islamisasi sistem keuangannya, sisetem ummah sudah mulai diberlakukan dalam sistem perekonomian yang dianut. Sistem ummah yang dimaksud adalah tidak adanya suku bunga dan penggunaan expected rate of profit dalam sistem pembiayaan. Sistem ummah ini juga mengarahkan kepada maksimalisasi sumber dana kepada usaha-usaha yang bersifat produktif.[6]
E.     Instrumen Moneter
1.  Instrumen Moneter Konvesional
Tindakan-tindakan Bank Sentral dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut telah mengalami evolusi yang panjang sepanjang sejarah, begitu juga dengan bentuk kebijakan dari Bank Sentral itu sendiri. Bank Sentral tersebut dalam melakukan implementasi kebijakannya mempunyai empat macam instrumen (alat) utama yaitu :
a.      Open Market Operation
Definisi Open Market Operation (OMO) atau Operasi Pasar Terbuka adalah pembelian dan penjualan sekuritas pemerintah (government securities)yang dilakukan oleh Bank Sentral. Sekuritas pemerintah tersebut biasanya berbentuk obligasi.
b.      Discount Rate
Instrumen kebijakan moneter ini berkaitan dengan fasilitas yang dimiliki oleh bank-bank untuk meminjam uang secara langsung kepada bank sentral. Pinjaman tersebut biasanya berbentuk direct advance atau over-drafit yang disekuritisasi dengan aset-aset tertentu (biasanya sekuritas pemerintah) pada saat sekarang. Biaya peminjaman (bunga) dari pinjaman itulah yang disebut sebagai ‘Discount Rate’ atau Fasilitas Diskonto.
c.       Reserve Requirement
Industri Perbankan adalah salah satu industri yang paling banyak dibuat peraturan tentangnya (heavily regulated industry). Salah satu bentuk pengaturan tersebut adalah Ketentuan Cadangan Minimum (Reserve Requirement) atau RR yang biasanya ditetapkan berdasarkan suatu undang-undang perbankan yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
d.      Moral Suasion
Bank sentral menggunakan pengaruhnya (kekuatan himbauan moral) untuk mendorong institusi finansial agar cenderung berpihak kepada kepentingan publik. Bank Sentral biasanya menggunakan himbauan moral untuk menyakinkan para bankir dan manajer senior instusi-instusi finansial agar lebih memerhatikan kepentingan jangka panjang daripada kepentingan jangka pendek institusinya. Contohnya adalah pada saat terjadi inflasi, bank sentral dapat menyarankan pada institusi-institusi finansial agar mengurangi pemberian pinjaman (kredit) yang sekaligus juga bersifat mendinginkan perekonomian yang sedang panas (overheated).
e.       Aplikasi Instrumen Moneter Konvesional di Indonesia
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral di Indonesia, seperti juga bank sentral lainnya di dunia, mempunyai beberapa instrumen moneter yang antara lainnya sebagai berikut:
a)  OMO melalui jual beli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di pasar uang (saat ini tingkat suku bunga SBI adalah sebesar 17.58%)
b)      RR yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) (sebesar 5% pada saat ini)
c)  Rasio Kecukupan Modal atau Capital Adequancy Ratio (CAR) yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) (sebesar 8% pada saat ini)
d) Plafon kredit untuk sektor-sektor prioritas tertentu seperti sektor usaha kecil dan menengah di daerah pendesaan
e) Sistem pengawasan perbankan yang memakai sistem forward looking risk-based supervision yang mengacu pada standar internasional
f)  Fit and Proper Test yang ditunjukan untuk orang-orang yang akan menduduki posisi penting di bank-bank umum di mana orang-orang tersebut harus lulus tes sebelum menduduki jabatan tersebut
g) BPMK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) yang ditunjukan untuk membatasi pemberian kredit kepada kelompok usaha sendiri oleh bank-bank.[7]
2. Instrumen Moneter Islam
a.      Mazhab Pertama (Iqtishaduna)
Pada masa awal Islam dapat dikatakan bahwa tidak diperlukan suatu kebijakan moneter dikarenakan hampir tidak adanya sistem perbankan dan minimnya pengunaan uang. Selain itu, kredit tidak memiliki peran dalam penciptaan uang, karena kredit hanya digunakan di antara para pedagang saja serta peraturan pemerintah tentang surat peminjaman (promissory notes) dan instrumen negosiasi (negotiable instrument) dirancang sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan sistem kredit tersebut menciptakan uang.
Promissory Notes atau Bill of Exchage dapat diterbitkan untuk membeli barang dan jasa ataupun untuk mendapatkan sejumlah dana segar, namun surat tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk tujuan kredit. Kreditor dapat menjual surat tersebut akan tetapi debitur tidak dapat menjual uang ataupun komoditi sebelum ia menerima surat tersebut. karena itulah tidak ada pasar untuk jual belinegotiable instruments, spekulasi dan penggunaan pasar uang menjadi tidak ada. Jadi sistem kredit tidak menciptakan uang.
Aturan-aturan tersebut memengaruhi keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang berdasarkan transaksi tunai. Dalam nasi’a atau aturan transaksi Islami lainnya, pada saat komoditi dibeli saat ini sedangkan pembayarannya dilakukan kemudian, uang yang dibayarkan atau diterima untuk mendapatkan komoditas atau jasa. Dengan kata lain, uang dipertukarkan dengan sesuatu yang benar-benar memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Transaksi lainnya seperti judi, riba, jual beli superficial promossory notes dilarang dalam Islam sehingga keseimbangan antara arus uang dan barang/jasa dapat dipertahankan. Jika diperhatikan dengan seksama, maka tampak bahwa perputaran uang dalam periode tertentu sama dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi pada rentang waktu yang sama.
b.      Mazhab Kedua (Mainstream)
Tujuan kebijakan moneter yang diberlakukan oleh pemerintah adalah memaksimalkan sumber daya (resource) yang ada agar dapat dialokasikan pada kegiatan perekonomian yang produktif. Di dalam Alquran sudah jelas bahwa kita dilarang untuk melakukan penumpukan uang (money hoarding) yang pada akhirnya akan menjadikan uang tersebut tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kekayaan yang iddletersebut akan menjadikan sumber dana yang pada awalnya bersifat produktif menjadi tidak produktif. Oleh sebab itu, mazhab kedua ini merancang sebuah instrumen kebijakan yang ditujukan untuk memengaruhi besar kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas perekonomian secara keseluruhan.
Permintaan dalam Islam dikelompokkan dalam dua motif, yaitu motif transaksi (transaksi motive)  dan motif bejaga-jaga (precautionary motive).Semakin banyak uang yang idle, maka berarti permintaan uang untuk berjaga-jaga semakin besar, sedangkan semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap uang yang idle berbanding terbalik dengan permintaan uang untuk berjaga-jaga.Dues of idle fund adalah instrumen kebijakan yang dikenakan pada semua aset produktif yang idle.
Apabila permintaan yang ditujukan untuk berjaga-jaga meningkat, maka usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengembalikan permintaan uang pada titik keseimbangan (equilibrium) adalah dengan cara meningkatkan dues of idle fund. Semakin tinggi dues of idle fund yang dikenakan terhadap uang yang idleakan menyebabkan masyarakat enggan untuk tetap menyimpan uang yang idletersebut. Konsekuensinya masyarakat yang mempunyai uang idle akan secara sukarela mengalokasikan kekayaannya pada investasi yang sifatnya produktif.
Instrumen dues of idle fund juga dapat digunakan untuk memengaruhi Permintaan Agregatif. Kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan Permintaan Agregatif atau untuk mendorong laju pertumbuhan pendapatan nasional dapat dilakukan dengan cara meningkatkan dues of idle fund.
Peningkatan dues of idle fund akan mengalihkan permintaan uang yang sedianya ditujukan untuk penimbunan uang/aset yang produktif kepada tujuan penggunaan uang yang akan meningkatkan produktivitas uang tersebut di sektor riil, sehingga investasi akan meningkat. Peningkatan investasi tentu saja akan berdampak pada peningkatan Permintaan Agregatif, sehingga keseimbangan umum yang baru akan berada pada tingkat pendapatan nasional yang lebih tinggi.
c.       Mazhab Ketiga (Alternatif)
Sistem kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalahsyuratiq process yaitu di mana suatu kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter adalah berdasarkan musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor rill. Jadi keputusan-keputusan kebijakan moneter yang kemudian dituangkan dalam bentuk instrumen moneter biasanya adalah harmonisasi dengan kebijakan-kebijakan di sektor rill.[8]
d.      Aplikasi Instrumen Moneter Islam di Indonesia
BI dalam menjalankan fungsi-fungsi bank sentralnya terhadap bank-bank yang berdasarkan syariah mempunyai instrumen-instrumen sebagai berikut:
a) Giro Wajib Minimum (GWM), biayasanya dinamakan Statutory Reserve Requirement, yaitu simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan persentase tertentu dari dana pihak ketiga.  Dalam pelaksanaannya GWM ini besarnya adalah 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (Rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing.
b)  Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank Syariah (Sertifika IMA), sertifikat IMA adalah suatu instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan dan di lain pihak sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-ban syariah yang kekurangan dana. Sertifikat ini berjangka 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI)
c)      Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), SWBI adalah instrumen Bank Indonesia (BI) yang sesuai dengan syariah Islam yang digunakan dalam OMO. Dalam operasionalnya, SWBI ini mempunyai suatu nilai nominal minimum RP 500 juta dengan jangka waktu yang dinyatakan dalam hari. Pembayaran dan pelunasan SWBI adalah melalui debet/kredit rekening giro bank yang ada di Bank Indonesia (BI)[9]

F.  Mekanisme Kebijakan Moneter Islam
Mekanisme kebijakan moneter tidak saja akan membantu mengatur penawaran uang seirama dengan permintaan riil terhadap uang, tetapi juga membantu memenuhi kebutuhan untuk membiayai defisit pemerintah yang benar-benar riil dan mencapai sasaran-sasaran sosio ekonomi masyarakat Islam lainnya. Mekanisme terdiri atas enam elemen.
a.   Target pertumbuhan dalam M dan 
b.    Saham publik terhadap deposito unjuk (Uang Giral)
c.   Cadangan wajib resmi
d.   Pembatasan kredit
e.   Alokasi kredit yang berorientasi kepada nilai
f    Tekni yang lain[10]

G. Perubahan Fundamental Dalam Sistem Moneter Islam Dibandingkan Dengan Sistem Moneter Konvesional
a.    Moderasi dalam pengeluaran, prinsip kesederhanaan dalam perilaku ekonomi merupakan karakteristik yang menlekat dalam sistem ekonomi Islam sehingga akan memberi ruang yang lebih besar bagi terwujudnya kemampuan keuangan umat untuk tabungan dan investasi. Perilaku berlebihan (extravaganza) adalah perilaku yang bertentangan dengan moral ekonomi Islam karena hanya menimbulkan ketimpangan ekonomi, pengurasan sumber daya ekonomi dan menjerumuskan perekonomian ke jurang stagflasi.
b.   Eliminasi penimbunan, hakekat ekonomi Islam bahwa semua sumber daya ekonomi harus dapat memberikan kemanfaatan bagi semua pihak untuk terwujudnya kehidupan ekonomi sejahtera. Praktek penimbunan hanya membawa kesengsaraan dan berhentinya roda perekonomian, sehingga menimbulkan rusaknya pilar-pilar ekonomi masyarakat.
c.    Efisiensi pemanfaatan tabungan, diarahkan pada alokasi sumber daya ekonomi ssecara efisien dan mendorong peningkatan produktifitas ekonomi. Effisiensi ekonomi dalam pengertian yang luas yaitu dalam konteks keseluruhan etos sistem nilai.
d.   Mekanisme pengerluaran pemerintah untuk sektor-sektor yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kebijakan  deficit anggaran yang berdampak pada ketergantungan pada sektor-sektor keuangan. Pengeluaran pemerintah memengang peranan yang penting untuk alokasi anggaran pada sektor-sektor ekonomi publik sehingga harus dicegah dari kemungkinan pemberosan dan kebocoran dana karena praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)[11]




BAB III
PENUTUP
A.kesimpulan
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Sedangkan sistem moneter menurut Abdul Qodim Zallum  adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara.
Permintaan Uang Konvesional : Motif transaksi (trensactionary motive), Motif berjaga-jaga (precautionary motive) dan Motif spekulasit (speculative motive)
Permintaan Uang Dalam Islam : transaksi dan berjaga-jaga atau untuk investasi.
Instrumen Moneter Konvesional : Open Market Operation, Discount Rate, Reserve Requirement dan Moral Suasion
Instrumen Moneter Islam :
·         Mazhab Pertama (Iqtishaduna) : Pada masa awal Islam dapat dikatakan bahwa tidak diperlukan suatu kebijakan moneter dikarenakan hampir tidak adanya sistem perbankan dan minimnya pengunaan uang.
·         Mazhab Kedua (Mainstream) : instrumen kebijakan untuk memengaruhi besar kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas perekonomian secara keseluruhan.
·         Mazhab Ketiga (Alternatif) : syuratiq process yaitu di mana suatu kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter adalah berdasarkan musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor rill.


DAFTAR PUSTAKA
A. Karim, Adiwarman. 2013. Ekonomi Makro Islam. Jakarta : Rajawali Pers
Chapra, Umer. 2000. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta : Gema Insani Press
Yuliadi, Imamudin. 2008.  Ekonomi Moneter. Jakarta : PT Indeks




[1] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 177-178
[2] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 180-183
[3] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 186-192
[4] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 193-194
[5] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 194-197
[6] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 198-204
[7] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 217-225
[8] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 225-227
[9] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, cet 2 (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Hal. 233-234
[10] Umer Chapra, Sistem Ekonomi Islam, cet 1 (Jakarta : Gema Insani Press, 2000). Hal. 141-147
[11] Imamudin Yuliadi, Ekonomi Moneter, cet 1 (Jakarta : PT Indeks, 2008). Hal. 110-111


No comments:

Post a Comment