Friday, March 16, 2018

Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Ushuliyyah serta Penerapan Dalam Ibadah dan Muamalah


Daftar Isi
                                                                                                Halaman
Kata Pengantar .........................................................................................   i
Daftar isi ....................................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................   1
B. Rumusan Masalah .........................................................................   2
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................   2
D. Manfaat Penulisan ........................................................................   2
BAB II PEMBAHASAN
A. Qawa’id Fiqhiyyah .......................................................................   3
1. Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah ................................................   3
2. Proses Pembentukan Kaidah Fikih ..........................................   3
3. Kaidah Fikih dalam Ibadah Mahdhah .....................................   4
4. Kaidah Fikih dalam Muamalah ................................................   6
B. Qawa’id Ushuliyyah .....................................................................   8
1. Pengertian Qawa’id Ushuliyyah ..............................................   8
2. Kaidah Ushul Fiqh dalam Ibadah ............................................   8
3. Kaidah Ushul Fiqh dalam Muamalah ......................................   9
B. Perbedaan Kaidah Ushul Fiqh dan kaidah Fikih .........................   10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................   12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................   13



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah adalah asas-asas atau aturan-aturan dalam ilmu fikih yang perlu diketahui secara umum oleh umat islam, terutama bagi mereka yang ingin mendalami ilmu fikih serta para mujtahid.Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah. Kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah sangat penting dipelajari karena berfungsi sebagai alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Kaidah ushulliyah merupakan pedoman dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan kaidahfiqhiyyah  ialah kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbath-an hukum islam. Hal ini sependapat dengan pernyataan dari Dr. Musthafa al-Zarqa` dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal al-Fiqhi, “seandainya kaidah fiqih tidak ada, maka hukum-hukum fikih akan tetap menjadi cecaran-cecaran hukum yang secara lahir saling bertentangan satu sama lain”.
Dengan mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui benang merah dalam menguasai fikih, karena kaidah fikih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih dan lebih arif dalam menerapkan fikih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, dan keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai “Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah serta Penerapan dalam Ibadah dan Muamalah”.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah, yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.Apa pengertian Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah ?
2.Bagaimana proses pembentukan Qawa’id Fiqhiyyah ?
3.Bagaimana penerapan Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah dalam  ibadah dan muamalah ?
4.Bagaimana perbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah ?

C.    Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui apa itu Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah.
2.Untuk mengetahui proses pembentukan Qawa’id Fiqhiyyah.
3.Untuk mengetahui bagaimana penerapan Qawa’id Fiqhiyyah danQawa’id   Ushuliyyah dalam ibadah dan muamalah.
4.Untuk bisa mengetahui perbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id   Ushuliyyah.
D.    Manfaat Penulisan
1.Membantu mahasiswa untuk menambah pengetahuan tentang Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah.
2.Membantu mahasiswa dan pembaca lainnya untuk sadar pentingnya mempelajari Qawa’id Fiqhiyyah dan Qawa’id Ushuliyyah.
3.Menyelesaikan tugas mata Kuliah Fiqh/Ushul Fiqh.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Qawa’id Fiqhiyah
1.  Pengertian Qawa’id Fiqhiyah
Al-Qawa’id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan).Dalam arti bahasa, kaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id al-din, artinya dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya kaidah kaidah ilmu. Imam Tajjuddiin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.[1]
Al-Qawa’id al-fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Menurut Al-Jurjani kaidah fikih adalah ketetapan yang kulli(menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagian.[2]

2.  Proses Pembentukan Kaidah Fikih
Proses pembentukan kaidah fikih adalah sebagai berikut:
(1) Sumber hukum Islam: Al-Qur’an dan Hadis; (2) Kemudian munculushul fiqh sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istinbath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqh yang menggunakah pola pikir deduktif menghasilkan fikih; (3) Fikih ini banyak materinya. Dari materi fikih yang banyak itu kemudian ulama-ulama yang di dalam ilmunya di bidang fikih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fikih; (4) Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadis, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis nabi; (5) Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Qur’an dan banyak hadis nabi,  baru kaidah fikih tadi menjadi kaidah fikih yang mapan; (6) Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama fikih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab tantangan perkebangan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan fikih-fikih yang baru; (7) Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberi fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah fikih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 1851 pasal; (8) Seperti telah disinggung di muka.[3]

3.  Kaidah Fikih dalam Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah hubungan manusia dengan tuhannya, yaitu hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Allah SWT. yang bersifat ritual (peribadatan), seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.[4]
Kaidah fikih di bidang ini memiliki ciri khas tersendiri yang pada prinsipnya bahwa Allah tidak bisa disembah kecuali dengan cara-cara yang telah ditentukan. Selain itu, di bidang ibadah ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati (al-ihtiyath), karena hubungan muslim dengan Allah memberikan kepuasan batin, dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan melakukan peribadatan secara benar, baik, dan hati-hati.
Banyak kaidah yang berhubungan dengan bidang fikih ibadah mahdhah, di antaranya:[5]
الأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ التَّوْفِيْقِ وَالْإِتْبَاعِ (۱)
“Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syariah”
Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah, harus ada dalil dan mengikuti tuntunan. Selain itu, ada juga yang menggunakan kaidah:
الْأَصْلُ فِى الْعِبِادَةِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“Hukum asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”
Kedua kaidah ini mengandung substansi yang sama, yaitu apabila kita melaksanakan ibadah mahdhah harus jelas dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadis Nabi, sebab, ibadah mahdhah itu tidak sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya.
طَهَارَةُ الْأَحْدَاثِ لَا تَتَوَقَّتْ (۲)
“Suci dari hadas tidak ada batas waktu”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang telah suci dari hadas besar dan atau kecil, maka dia tetap dalam keadaan suci sampai ia yakin batalnya baik dari hadas besar atau kecil.
 التَّلَبَسُ بِالْعِبَادَةِ وَجَبَ إِتْمَامُهَا (۳)
“Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”
Yang dimaksud percampuran (al-talabus) adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan(rukhshah). Al-talabus ini sendiri menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah ini menjelaskan bahwa orang yang dalam keadaan demikian wajib menyempurnakannya.
Contohnya: apabila seseorang telah berniat untuk melaksanakan puasa Ramadha, kemudian pada siang harinya dia mendadak harus bepergian jauh; apakah dia harus menyelesaikan puasanya ataukah dia harus membatalkannya dengan alasan bepergian? Berdasarkan kepada kaidah di atas, orang tersebut harus menyempurnakan puasanya, tidak boleh membatalkan puasanya. Apabila kita kembalikan kasus tersebut kepada kaidah asasi, “al-masyaqqah tajlib al-taysir” atau “al-dharar yuzal”, maka yang menyebabkan bolehnya membatalkan puasa adanya kesulitan atau kemudaratan, seperti sakit atau bepergian jauh yang membawa kesulitan atau kemudaratan. Oleh karena itu, apabila dalam bepergian tidak menyulitkan dan tidak memudaratkan, maka dia harus menyempurnakan puasanya, sesuai dengan kaidah di atas.[6]

4.  Kaidah Fikih dalam Muamalah
Beberapa kaidah fikih yang khusus di bidang muamalah di antaranya:
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا (۱)
“Hukum asal  semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ (۲)
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akd tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.[7]
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأَصْلُ فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ (۳)
“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang di jual atau wakil dari pemilik barang atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.
البَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ (٤)
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”
Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.[8]

B.  Qawa’id Ushuliyyah
1.  Pengertian Qawa’id Ushuliyyah
Qaidah ushuliyyah merupakan gabungan dari kata Qaidah danushuliyyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah Qawa’id. Adapun ushuliyyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, kaidah ushuliyyahadalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.[9]

2.  Kaidah Ushul Fiqh dalam Ibadah
Semua ibadah ritual adalah batil, kecuali yang memiliki dasar dalam syariat.
Kaidahnya berbunyi:
الأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر
Asal dari ibadah adalah batil, sampai tegaknya dalil yangmemerintahkannya
Kaidah ini membimbing kita untuk tidak merekayasa dan mengarang amalan ibadah ritual (mahdhah) tertentu yang tidak dikenal dalam sumber-sumber pokok syariat Islam. Sebab hal itu menjadi sia-sia, bahkan dapat membawa pelakunya pada sebuah dosa.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami kami perintahkan dalam agama kami maka itu tertolak.” (HR. Bukhari)
Contoh Penerapan Kaidah Ini: Ada seorang atau sekelompok orang yang mengadakan ritual shalat tahajud secara khusus pada malam tertentu saja, dan tidak pada malam lainnya. Lalu ritual tersebut dilakukan terus menerus dan menjadi adat baru. Maka, menurut kaidah ini, pengkhususan ritual ini adalah batil karena telah membuat cara baru dalam tahajud. Cara pengkhususan tersebut tidak pernah ada dalam Al Quran, As Sunnah, perilaku sahabat, tabi’in, dan imam empat madzhab ahlus sunnah. Sebab, ibadah tahajud adalah ibadah mutlak yang dapat dilakukan pada malam apa saja, bukan pada malam tertentu saja. Maka, dari sudut pandang  waktu (Az Zaman), tidak dibenarkan melakukan ibadah pada waktu-waktu khusus dengan keyakinan tertentu pula, yang tidak ada contohnya dalam sumber-sumber syariat.[10]

3.  Kaidah Ushul Fiqh dalam Muamalah
Segala sesuatu urusan dunia dan muamalah adalah sah dan mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkan dan membatalkannya. Kaidahnya berbunyi: 
والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم
Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.
Dalil kaidah ini adalah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)
Contoh Penerapan Kaidah Ini: Seseorang memakan hewan yang memang sama sekali tidak ada dalil yang menyatakannya haram. Dan, tidak ada juga korelasi apa pun yang menyebabkannya masuk dalam kategori hewan yang diharamkan. Hewan itu pun tidak membahayakan bagi kesehatan, bukan hewan yang dilarang untuk dibunuh, bukan hewan buas bercakar dan bertaring, bukan hewan yang mengganggu dan menakutkan manusia. Maka, hewan tersebut tetap halal dikonsumsi walau hewan tersebut secara penampilan ‘tidak enak’ dilihat.[11]

C.  Perbedaan Kaidah Ushul Fiqh dan kaidah Fikih
Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul fiqh dan kaidah fikih menyatakan bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah al-Qurafi (w.684 H), yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal, yaitu ushul dan furu’, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqhdan kaidah-kaidah kuliyah fiqhiyah”[12]
Lebih jauh lagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidahushul dan kaidah-kaidah fikih.[13]
1.      Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukanistinbath al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, kata-kata larangan menunjukkan haram.
2.      Kaidah ushul fiqh meliputi semua bagian, sedang kaidah fikih hanya bersifataglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.
3.      Kaidah ushul fiqh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fikih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
4.      Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah furu’.
5.      Kaidah-kaidah ushul  menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikih menjelaskan masalah fikih yang terhimpun di dalam kaidah tadi.


6.          
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan yang telah kita bahas sebelumnya, maka dapat kita simpulkan:
1.      Kaidah fikih adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.
2.      Ibadah mahdhah adalah hubungan manusia dengan tuhannya, yaitu hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Allah SWT. yang bersifat ritual (peribadatan), seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
3.      Kaidah fikih di bidang Ibadah memiliki ciri khas tersendiri yang pada prinsipnya bahwa Allah tidak bisa disembah kecuali dengan cara-cara yang telah ditentukan. Selain itu, di bidang ibadah ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati (al-ihtiyath), karena hubungan muslim dengan Allah memberikan kepuasan batin, dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan melakukan peribadatan secara benar, baik, dan hati-hati.
4.      Kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.





DAFTAR PUSTAKA

Djazuli.2006.  Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II. Jakarta: Kencana.


Http://manbaulilmiwalhikami.blogspot.co.id/2014/01/menerapkan-macam-macam kaidah-ushul-fiqh.html#sthash.S4be0NOx.dpuf.

Saebani , Beni Ahmad. 2009.  Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia.





[1] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 3
[2] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 2
[3] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006), hal.13.
[4] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 114
[5] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 114-116
[6] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 116.
[7] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 130-131
[8] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 128
[9] Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 193-194.
[10] http://manbaulilmiwalhikami.blogspot.co.id/2014/01/menerapkan-macam-macam-kaidah-ushul-fiqh.html#sthash.S4be0NOx.dpuf
[11]http://manbaulilmiwalhikami.blogspot.co.id/2014/01/menerapkan-macam-macam-kaidah-ushul-fiqh.html#sthash.S4be0NOx.dpuf
[12] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 22
[13] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fikih, Cet II (Jakarta: Kencana, 2006),  hal. 22-23

No comments:

Post a Comment