BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Berbicara mengenai buruh memang tidak akan pernah habisnya. Bahkan
pemberitaan mengenai buruh tidak pernah berhenti menghiasi media, baik media
cetak maupun elektronik. Pemberiataann mengenai buruh ini tidak lepas dari
berbagai permasalahan yang melingkupi buruh, mulai dari outsourcing, PHK,
sistem kontrak, kesejahteraan dengan tolak ukur utama jumlah upah serta masih
banyak permasalahan buruh lainnya. Permasalahan buruh ini juga diperparah
dengan pemerintah yang tidak berpihak kepada buruh.
Pemerintah yang diharapkan dapat menjadi penyelamat para buruh,
justru terlalu banyak menyampaikan argumen
tanpa ada solusi. Disatu sisi buruh selalu dipinggirkan, padahal disisi lainnya
buruh yang mempunyai kontribusi sebagai penopang perekonomian negara. Buruh
mempunyai peran yang sangat besar bagi suatu negara.
Buruh tidak hanya menjadi penggerak ekonomi saja, namun juga menjadi
pelaku utama pembangunan. Karena jumlah buruh yang besar maka buruh juga
menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan wajah masyarakat Indonesia
secara keseluruhan. Kontribusi buruh yang sedemikian besar ternyata memang
tidak memperoleh apresiasi. Dari tahun ke tahun selalu muncul permasalahan
buruh teruttama yang berkaitan dengan kesejahteran buruh. Tidak bisa
dipungkiri, diantara banyak masalah seputar buruh, permasalah mengenai
kesejahteraan merupakan masalah yang sangat sensitif.
Permasalahan kesejahteraan selalu dibicarakan karena menyangkut
kelangsungan hidup para buruh. Dari tahun ke tahun permasalahan klasik yang
sering muncul adalah keinginan para buruh untuk menaiki gaji atau upah mereka.
Hal ini bukan tanpa alasan mereka lakukan, mereka beranggapan jika upah yang
mereka terima dirasa tidak sebanding atau tidak mencukupi untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup rill
sehari-hari.
Berdasarkan uraian di
atas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kesejahteraan
buruh dengan mengangkat judul “Pengaruh Upah Terhadap Kesejahteraan Buruh Di
Indonesia”
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, yang
menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan buruh?
2. Apa saja bentuk-bentuk buruh?
3. Apa yang dimaksud dengan upah dan kesejahteraan?
4. Apa saja jenis-jenis upah?
5. Adakah undang-undang yang membahas persoalan upah?
6. Bagaimana peranan upah terhadap kesejahteraan buruh?
7. Bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan buruh?
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu buruh.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk buruh.
3. Untuk mengetahui apa itu upah dan kesejahteraan.
4. Untuk mengetahui jenis-jenis upah.
5. Untuk mengetahui undang-undang tentang upah.
6. Untuk mengetahui bagaimana peranan upah terhadap kesejahteraan buruh.
7. Untuk mengetahui bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan buruh.
1.4
Manfaat Penulisan
1. Membantu mahasiswa untuk menambah pengetahuan tentang Pengaruh Upah Terhadap Kesejahteraan Buruh.
2. Membantu mahasiswa dan pembaca lainnya untuk sadar pentingnya mempelajari Pengaruh Upah Terhadap Kesejahteraan Buruh.
3. Menyelesaikan tugas mata Kuliah Manajemen Sumber Daya Insani.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Buruh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia buruh adalah orang yang bekerja
untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, Bab 1, Pasal 1 pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna mengahsilkan barang dan jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau masyarakat. Sedangkan pemberi kerja
adalah perorangan, pengusaha badan hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atu imbalan dalam bentuk lain.
Pada zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan buruh adalah
orang-orang pekerja kasar seperti kuli, tukang, dan lain-lain. Orang-orang ini
oleh pemerintah Belanda dahulu disebut dengan blue collar atau berkerah biru, sedangkan orang-orang yang
mengerjakan pekerjaan halus seperti pegawai administrasi yang bisa duduk dimeja
di sebut dengan white collar atau
berkerah putih (Asyhadie, 2007:19).
Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh
diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, karena istilah buruh kurang
sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan
yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan. Istilah
pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam Undang-undang No 24 Tahun 1997
tentang ketenagakerjaan (Husni, 2001:22).
2.2 Bentuk-Bentuk Buruh
Buruh merupakan orang yang bekrja untuk orang lain yang mempunyai
suatu usaha kemudian mendapatkan upah atau imbalan sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya. Upah biasanya diberikan secara harian maupun
bulanan tergantung dari hasil kesepakatan yang telah disetujui. Buruh
terdiri dari berbagai macam (Jontang, 2014:25-26), yaitu:
a.
Buruh harian,
buruh yang menerima upah berdasarkan hari masuk kerja.
b.
Buruh Kasar,
buruh yang menggunakan tenaga fisiknya karena tidak mempunyai keahlian dibidang
tertentu.
c.
Buruh musiman,
buruh yang bekerja hanya pada musim-musim tertentu (misalnya buruh tebang
tebu).
d.
Buruh pabrik,
buruh yang bekerja di pabrik
e.
Buruh tambang,
buruh yang bekerja di pertambangan
f.
Buruh tani,
buruh yang menerima upah dengan bekerja di
kebun atau di sawah orang lain.
2.3 Definisi Upah Dan Kesejahteraan
Upah didefinisikan sebagai
balas jasa yang adil dan layak diberikan kepada par apekerja atas jasa-jasanya
dalam mencapai tujuan organisasi. Upah merupakan imbalan financial langsung
yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang
dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang diberikan (Rivai, 2009:758).
Upah menurut
Undang-Undang Tenaga Kerja No 13 Tahun 2000, Bab 1, Pasal 1, Ayat 30 adalah hak
pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pemberi kerja atau pengusaha kepada pekerja yang ditetapkan dan di bayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Kesejahteraan adalah
suatu kondisi aman sentosa dan makmur terhindar dari berbagai ancaman dan
kesulitan yang dirasakan seseorang yang telah melakukan suatu pekerjaan di
suatu tempat atau perusahaan (Heidjrachman, 2005:206).
Kesejahteraan karyawan
sangat perlu diperhatikan oleh perusahaan, karena karyawan merupakan faktor
utama dalam peningkatan produktivitas. Apabila kesejahteraan dilalaikan, maka
kemungkinan akan timbul banyak masalah ketenagakerjaan seperti kebosanan,
kejenuhanm merasa tidak diperhatikan, kecelakaan kerja dan kemungkinan lain.
Program kesejahteraan karyawan menyangkut masalah ekonomi, rekreasi atau
hiburan, dan penyediaan fasilitas bagi karyawan (Heidjrachman, 2005:269).
2. 4 Jenis-Jenis Upah
Jenis-jenis upah dalam berbagai kepustakaan Hukum Ketenagakeraan Bidang
Hubungan Kerja dapat dikemukakan (Asyhadie, 2007:70), sebagai berikut:
a.
Upah Nominal
Upah nominal adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara tunai kepada
pekerja/buruh yang berhak sebagai imbalan atas pengerahan jasa-jasa atau
pelayanannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian
kerja.
b.
Upah Nyata
(Real Wages)
Upah nyata adalah upah uang nyata yang benar-benar harus diterima seorang
pekerja/buruh yang berhak. Upah nyata ini ditentukan oleh daya beli upah
tersebut yang akan banyak tergantung dari besar atau kecilnya jumlah uang yang
diterima dan besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan.
c.
Upah Hidup
Upah hidup, yaitu upah yang di terima pekerja/buruh relatif cukup untuk
membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang bukan hanya kebutuhan pokoknya,
melainkan juga kebutuhan sosial keluarganya, seperti pendidikan, asuransi,
rekreasi dan lain-lain.
d.
Upah Minimum
Upah minimum adalah upah terendah yang akan dijadikan standar, oleh
pengusaha untuk menentukan upah yang sebenarnya dari pekerja/buruh yang bekerja
di perusahaannya.
Sebagai yang diterangkan bahwa pendapatan yang dihasilkan para karyawan
dalam suatu perusahan beperan sangat penting. Dalam hal ini maka upah minimum
sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup karyawan beserta
keluarganya,walaupun dalam arti yang sederhana, cost of living perlu
diperhatikan dalam penentuan upah.
e.
Upah Wajar
Upah wajar adalah upah yang secara relatif dinilai cukup wajar oleh
pengusaha dan pekerja/buruh sebagai imbalan atas jasa-jasanya pada perusahaan.
Upah wajah ini sangat bervariasi dan selalu berubah-ubah antar upah minimum dan
upah hidup sesuai dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.
2.5 Undang-Undang Tentang Upah
Menurut Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan
(Budiono, 2009:29). Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maka dari itu upah sangat
berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja.
Jika upah yang diberikan tidak layak atau tidak sesuai dan serikat
pekerja tidak berperan secara maksimal dalam memberi perlindungan dan
mengusahakan kesejahteraan ditingkat perusahaan. Maka cara lain yang digunakan
pekerja untuk mengusahakan kesejahteraannya adalah dengan melakukan unjuk rasa
supaya aspirasi dan pendapat serta keluhan mereka didengarkan oleh perusahaan
maupun pemerintah. Mengacu pada UU Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 1 Angka 3 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Unjuk Rasa adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan,
tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Unjuk rasa merupakan
salah satu sarana pekerja untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Melalui unjuk
rasa pekerja menyampaikan tuntutannya kepada perusahaan dan juga pemerintah.
2.6 Peranan Upah Terhadap Kesejahteraan
buruh Di Indonesia
Buruh merupakan salah satu unsur pendukung dari unik produksi yang
memegang peran penting dalam menghasilkan suattu produk. Berbicara tentang
produksi tidak akan lepas dari konteks upah dan kebutuhan fisik minimun buruh.
Dalam suatu proses produksi, buruh hanya akan menghasilkan produktivitas yang
tinggi apabila keadaan fisiknya cukup memadai. Hal itu akan bisa tercapai
apabila upah yang diterimanya dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum. Dengan
kata lain, membicarakan buruh dalam kaitannya dengan produktivitas mereka tidak
dapat mengabaikan peranan upah dan kebutuhan fisik minimum. Kesejahteraan buruh
kemudian menjadi poin penting ketika kita membicarakan tentang buruh. Merujuk
pada UU ketenagakerjaan No 25 Tahun 1997 kesejahteraan buruh meliputi upah,
kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja (Hendrastomo, 2010:10).
Kesejahteraan pekerja adalah suatu pemenuhan kebutuhan atau keperluan
yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik selama dalam hubungan kerja maupun
di luar hubungan kerja, yang secara langsung dan tidak langsung dapat
mempertinggi produktivitas kerja. Kenyamanan dan ketentraman dengan berbagai
fasilitas yang disediakan oleh pemilik modal merupakan salah satu bentuk
kesejahteraan yang di terima pekerja. Kondisi ini dilapangan sangat jarang
ditemui, ruangan untuk buruh sangat jauh dari kesan nyaman.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perhitungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebaagai pengganti sebagian dari penghasilan
yang hilang atau berkurang dan pelayanan akibat peristiwa atau keadaan yang
dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil bersalin, hari
tua dan meninggal dunia.
Di Indonesia, kesejahteraan buruh secara kasat mata dilihat dari upah
minimum yang diberikan, baik itu upah minimum regional, upah minimum propinsi
atau upah minimum kabupaten. Upah minimum regional, upah minimum propinsi atau
upah minimum kabupaten. Upah minimum menjadi patokan pemilik modal untuk
memberikan balas jasa kepada buruh. Upah minimum ini dikatakan mencerminkan
hubungan antara buruh, pemilih modal dan negara. Dalam proses penetapan upah
minimum ini negara mempunyai peran yang lebih menonjol. (Hendrastomo, 2010:11-12).
2.7 Cara Meningkatkan Kesejahteraan
buruh
Permasalahan pelik peningkatan kesejahteraan buruh kiranya tidak akan
dapat dipecahkan oleh buruh sendiri atau negera bahkan pengusah atau korporasi.
Masing-masing pihak tentu mempunyai kepentingan sendiri. Buruh tentu saja ingin
meningkatkan taraf kehidupannya, negara ingin berperan besar dalam mengentaskan
kemiskinan dan membuka banyak lapangan kerja, dan korporasi selalu berusaha
mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ketiga pihak inilah kemudian dituntut
untuk saling berdiskusi satu sama lain untuk memberikan pemecahan dalam
kaitannya dengan kesejahteraan buruh.
Dari tiga pihak ini masing-masing diupayakan untuk mengusahakan
kesejahteraan buruh. Solusi pertama datang dari pihak buruh yang berkepentingan
dalam meningkatkan kesejahteraan. Dalam perpektif Marx, selama ini buruh
terjebak dalam kesadaran palsu atau false
consciousness dimana buruh merasa diperlakukan baik oleh pemilik modal.
Buruh harus merubah false consciousness
itu dengan kesadaran kelas, yaitu kesadaran bersama bahwa selama ini pemilik
modal selalu memarginalkan mereka. Dalam tataran modern kemudian buruh bisa
melakukan gerakan perlawan dengan berserikat. Serikat buruh merupakan salah
satu jalan untuk bernegosiasi dengan pemilik modal.
Gerakan serikat buruh selama ini terbatas pada negosiasi lunak dengan
negera maupun pengusaha. Serikat buruh tidak memiliki posisi tawar yang memadai
sehingga kegagalan lah yang sering menghampiri mereka. Gerakan yang mereka
lakukan masih setengah-setengah diiukuti leh buruh. Ada kekhawatiran ketika
mereka melakukan perlawanan, bukan mendapatkan kesejahteraan malah pemutusan
kerja yang akan didapatkan. Paradigma inilah yang harus dirubah. Salah satu
cara yang bisa dikembangkan adalah membentuk koperasi yang nantinya akan
menjamin mereka apabila terjadi pemutusan hubungan kerja.
Solusi kedua datang dari pemilik modal. Perubahan cara pandang terhadap
buruh mutlah harus diubah. Buruh bukan lagi komoditas ataupun faktor produksi,
tetapi buruh merupakan stakeholder juga bagi perusahaan, sehingga untuk
mengurangi beban produksi tidak lagi mengurangi kesejahteraan buruh atau
pemutusan hubungan kerja, tetapi dengan efisiensi.
Solusi yang ketiga datang dari negera. Negara akan memainkan peran
penting dalam peningkatan kesejahteraan buruh. Kebijakan mengenai upah minimum
regional (UMR) perlu disempurnakan. UMR harusnya berkaca pada tingkat kebutuhan
riil tenaga kerja dan disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Negara merupakan pihak ketiga yang menghubungkan dan memediasi kepentingan
buruh dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seharusnya memenuhi
sisi keadilan, sehingga negara tidak lagi menjadi corong dan boneka pengusaha
tetapi mampu menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan penjamin hak-hak
masyarakat.
Ketiga solusi tersebut tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tetapi
memerlukan sinergi bersama semua pihak. Peningkatan kesejahteraan buruh mutlak
diagendakan demi untuk menciptkan rasa keadilan dan menarik buruhh dari
kemarginalan. Hubungan buruh pengusaha tidak lagi hubungan majikan dengan budaknya,
tetapi lebih sebagai partner, yang intinya pengusaha mempunyai konsen untuk
memperoleh keuntungan, tapi disisi lain buruh juga mau menopang perusahaan
untuk memperoleh keuntungan. Namun, apa yang menjadi keperluannya secara
manusiawi juga dicukupi oleh perusahaan. Paradigma yang dipakai tidak lagi
buruh sebagai alat produksi tetapi benar-benar sebagai partner ( Hendrastomo, 2010:13-15).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Upah sangat berpengaruh pada kesejahteraan. Upah menjadi patokan pemilik
modal untuk memberikan balas jasa kepada buruh. Upah ini dikatakan mencerminkan
hubungan antara buruh, pemilih modal dan negara. Apabila upah yang diterima sesuai dengan
kebutuhan hidup maka kebutuhan akan sandang, pangan dan tempat tinggal akan
terpenuhi. Sehingga kesejahteraan para buruh akan semakin baik.
Selain itu, jika upah yang diterima oleh buruh semakin sesuai dengan
Perjanjian Kerja Bersama dan Upah Minimum sesuai dengan kebutuhan maka
keinginan pekerja untuk melakukan unjuk rasa dan mogok kerja akan semakin
kecil. Disamping itu apabila upah yang diterima buruh dirasa sesuai dengan apa
yang mereka lakukan (konstribusinya) untuk perusahaan maka keinginan pekerja
untuk menyampaikan ketidapuasan dalam wujud unjuk rasa ataupun mogok kerja secara
individu maupun kolektif akan semakin menurun.
Pada dasarnya buruh memang berada pada posisi sulit dan posisi tawarnya
tidak menguntungkan. Maka dari itu, para pekerja melakukan aksi unjuk rasa
untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Selain itu apabila perselisihan hubungan
industrial yang terjadi tidak dapat terselesaikan maka para pekerja berhak
untuk melakukan pemogokan kerja. Pemogokan kerja dilakukan sebagai cara
terakhir dan jurus pamungkas untuk memaksakan tuntutannya kepada pengusaha.
DAFTAR PUSTAKA
Asyhadie, Zaeni. 2007. Hukum Kerja: Hubungan Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Budiono, Abdul Rahmad. 2009. Hukum Perburuhan.
Jakarta: PT.Indeks.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Heidjrachman dan Suad Husna. 2005. Manajemen
Personalia. Yogyakarta: BPFE.
Hendrastomo, Grendi. 2010. Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh
Diantara Kepentingan Negara dan Korporasi. Jurnal Informasi, Vol 16 No 2, No
ISSN: 0126-1650.
Husni, Lalu. 2001. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jontang, Ali. (2014). Upaya
Buruh Harian Lepas (Bhl) Perempuan Dalam Memenuhi Kebutuhan Keluarga Ditinjau
Dari Ekononomi Islam (Study Kasus Desa Kesuma Kecamatan Pangkalan Kuras). Skripsi,
Universitas Islam Negeri Sultan Sarif Kasim Riau.
Rivai, Veithzal. 2009. Manajemen
Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan. Jakarta: Raja Grafin
No comments:
Post a Comment